Nobar dan Bedah Buku Kekerasan Budaya Pasca 65

untitled-1-cd6
Foto : poster ajakan diskusi

Rabu, 5 Oktober 2015 dalam memperingati peristiwa Gerakan Satu Oktober (GESTOK) 1965. Lingkar Studi Kerakyatan (LSK) menggelar acara Nonton Bareng (Nobar) dan Bedah Buku “Kekerasan Budaya Pasca 65” karya Wijaya Herlambang. Vidoe Nobar adalah Film documenter yang berjudul “Shadow Play”. Film ini mengungkapkan tentang penjatuhan Soekarno dan pembantaian massal 1965-1966 (tragedi kemanusiaan abad 20) yang disembunyikan oleh Soeharto beserta pengikutnya. Soeharto menyebarkan fitnah dan propaganda yang efektif untuk kelancaran program pembunuhan para pendukung Soekarno, plus propaganda agar tragedi tersebut dapat dimaklumi tanpa penegakan hukum. Antara 500.000 hingga 1 juta jiwa telah dibunuh dalam waktu yang singkat. Keluarga korban hidup menderita karena celaan dan hinaan. Rezim Soeharto memanipulasi Rakyat Indonesia agar tidak mampu berpikir kritis terhadap sejarah negerinya sendiri.

Berbagai tanggapan menarik muncul dari peserta diskusi setelah film selesai di putar. Novaldi peserta dari FKIP Unmul mengungkapkan “Setelah menonton film ini, pelajaran sejarah yang saya pelajari dari SD, SMP, dan SMA seolah terbalikkan. Betapa hebatnya propaganda yang dibuat oleh rezim saat itu, sudah seharusnya kita sebagai kaum muda untuk melek terhadap sejarah”. Tanggapan selanjutnya dari kawan Budi dari Universitas Widya Gama “Padahal dasar negara kita Pancasila menekankan prinsip kemanusiaan, bukan dengan pembantaian massal seperti itu” ungkapnya. Tanggapan lain dari Romiansyah Fakultas Pertanian Unmul menyatakan bahwa “Pasca reformasi Presiden Gusdur sudah menyatakan niatnya untuk meminta maaf pada korban peristiwa 65, namun masih secara pribadi bukan sebagai Kepala Negara. Yang membuat kita sulit untuk mengungkapkan kebenaran peristiwa 65 adalah karena sampai saat ini negara masih dikuasai oleh antek-antek orde baru (orba) seperti Prabowo, Wiranto, Luhut, dan lain-lain. Investasi asingpun sekarang masih terbuka lebar seperti pada masa orba, contohnya di Kutai Kartanegara disana ada negara bagian Amerika (terangnya sambil melucu yang mengungkapkan terdapat perusahaan asing disana)”. Ada juga tanggapan dari Sudrajad mahasiswa dari Universitas Indonesia “Saya dahulu ketika aktif bersama kawan-kawan mahasiswa di UI pernah mengadakan acara pemutaran film “Senyap” dan mengalami berbagai tekanan dari Ormas reaksioner, namun kegiatan tetap berhasil kami selenggarakan. Tidak usah takut untuk mendiskusikan hal yang bersifat ilmiah dan objektif” terangnya.

Setelah Nobar selesai, langsung disambung dengan bedah buku “Kekerasan Budaya Pasca 65”. Angga anggota LSK selaku moderator memaparkan bahwa “Peristiwa 65 bukanlah soal pembantaian manusia saja. Itu adalah konsekuensi dari pertarungan yang semakin meruncing antara pihak yang ingin melanjutkan proses revolusi kemerdekaan dan pihak yang ingin memcounter revolusi tersebut. Pertarungan tersebutpun meliputi berbagai aspek seperti ekonomi, politik, sosial, hingga kebudayaan. Buku ini menjelaskan bagaimana faktor kebudayaan sangat berpengaruhyh pasca 65 dalam membentuk stigma anti-komunis di Indonesia”. Caliandra anggota LSK sebagai pemantik memulai diskusi dengan menjelaskan gambaran singkat buku tersebut.

“Resume buku yang sudah dipegang oleh kawan-kawan, merupakan buku karya Wijaya Herlambang : seorang dosen dari Unversitas Pancasila dan Gunadarma. Buku ini menjelaskan tentang pembunuhan massal yang terjadi pada rezim Soeharto. Pembunuhan ratusan hingga jutaan anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1965-1996 dilakukan secara serampangan tanpa adanya hukum yang adil. Para korban dibunuh secara sadis dan tidak berprikamunusiaan. Pembunuhan tersebut dikarenakan rezim Soeharto menuduh PKI membunuh tujuh Jendral pada saat itu. Pada saat itu masyarakat tidak berani mencegah hingga menentang pembunuhan tersebut, karena akan dianggap simpatisan PKI dan dianggap menentang pemerintah. Rezim Soeharto pun kemudian membangun stigma anti-komunisme melalui film, sastra, dan media. Film “pengkhianatan G30S/PKI” adalah film dimana menceritakan bahwasannya PKI lah yang membunuh para jendral tersebut dengan sadis, selalu diputar setiap tahun. Lalu propoganda rezim soeharto dengan sastra, dimana sebuah cerpen berjudul “perang dan kemanusiaan” menceritkan seorang integrator yang menyiksa para pidana yang dituduh seorang PKI. Namun cerpen tersebut menanamkan visi ideologis bahwa kekerasan tersebut dapat dimaklumi dan malah membawa pembaca untuk kasihan terhadap integrator tersebut dari pada korban.”

Selanjutnya Caliandra mengungkapkan “Propoganda anti-komunisme juga dikumandangkan lewat radio dan koran-koran. Muncul juga penentangan terjadi oleh beberapa tokoh pada saat itu. Salah satunya adalah Liotohe yang membuat buku “prima dosa” yang mencibir rezim Seoharto dan menyinggung bahwa Jendral Soehrato lah otak dari G30S. Soeharto langsung angkat bicara, ia mengatakan bahwa Liotohe menentang pemerintah. Liotohe langsung masuk penjara dan bukunya di cegal. Menanggapi buku “prima dosa” rezim Soeharto menerbitkan buku putih berjudul “Gerakan 30 september pemberontakan Partai Komunis Indonesia, latar belakang aksi dan penumpasannya” tapi rezim Seoharto menolak tuduhan bahwa buku putih ini adalah buku untuk melawan “prima dosa” Liotohe. Salah satu alasan mengapa ini terjadi adalah agar investasi asing dan kepentingan kapital global tetap terjaga di Indonesia. Jadi, selama 32 tahun rezim Soeharto kita telah di doktrin stigma anti-komunis bahkan itupun juga masih bertahan sampai sekarang. Lantas bagaimana peran kita sebagai pemuda/mahasiswa ?” tegas Caliandra sebagai pemantik.

Aji, salah satu peserta diskusi menerangkan pendapatnya “Pada saat kita menonton video tersebut dan membaca resum buku ini, hal yang saya tangkap adalah pemberangusan PKI dan kudeta Sukarno. Saya menyikapi ada kepentingan asing didalamnya, pada saat Soekarno berkuasa dia cenderung lebih dekat kepada blok timur (Uni soviet beserta sekutunya), blok barat sebagai refresentasi dari Amerika Serikat menjadi cemburu dengan kedekatan tersebut. Pada saat Soekarno memimpin, blok barat melihat ada pertentangan di dalam negeri Indonesia antara Kubu Soekarno dan PKI dengan Angkatan Daran yang dipimpin oleh Soeharto pada saat itu. Akhirnya blok barat membekingi Soeharto dalam upayanya menyingkirkan kekuatan komunis di Indonesia.”

Selanjutnya salah satu peserta diskusi yang bernama Heui mengungkapan pandangannya terhadap buku “Kekerasan Budaya Pasca 65” tersebut. “Buku ini menarik karena merupakan disertasi dari Wijaya Herlambang seorang yang telah lulus dari Universitas Queensland (UQ). Periode awal kemerdekaan antara tahun 1945-1965 merupakan periode kebudayaan yang didominasi oleh budaya “kerakyatan” sebagai instrument penting dalam menuntaskan revolusi nasional. Banyak aliran seni yang berafiliasi pada partai politik, seperti Lembaga Kebudayan Nasional (LSN) pada Partai Nasional Indonesia (PNI), Lembaga Kebudayaan Rakyat pada Partai Komunis Indonesia (PKI), dan lain-lain. Dominasi kebudayaan yang muncul pada saat itu adalah bagaimana mengisi seni untuk menghegemoni kesadaran rakyat dalam menuntaskan revolusi nasional baik dalam melawan kolonialisme maupun borjuasi nasional, jadi seni untuk rakyat. Di lain pihak ada lagi istilah seni untuk seni, yakni kubu Manifest Kebudayaan (Manikebu) yang kurang popular pada rezim Soekarno serta sering bersitegang dengan kelompok Lekra saat itu. Ada Arif Budiman, Goenawan Muhammad, dan lainnya dalam kelompok ini. Dalam buku ini Manikebu juga di sponsori oleh lembaga Internasional yakni Central Intelligence Agency (CCF) yang membangun universalitas. Budaya yang dipopulerkan oleh kelompok Manikebu yakni seni untuk seni sangat mempengaruhi budaya yang berkembang saat ini misalnya seni tentang cinta, kesedihan, dan lain-lain, sangat berbeda dengan budaya popular pasca 45 dimana seni menjadi kritik terhadap rezim. Budaya yang dibangun pasca 65 adalah budaya yang digunakan untuk melegitimasi kekuasaan penguasa.” Heui juga memaparkan bahwa “Kebohongan yang dilakukan terus menerus maka akan menjadi kebenaran. Nah inilah yang dilakukan rezim orba selama proses 32 tahun lebih dalam menanaman ideologinya. Jadi yang bikin film G30S yang diputar setiap tahun oleh rezim orba adalah kelompok Manikebu. Sampai saat ini seni hanya digunakan untuk kesenangan pribadi masing-masing yang menjadi penunjang kapitalisme industri.” Heui juga menghubungkannya dengan situasi saat ini “Misalnya Stand Up Comedy MOP Papua, padahal MOP Papua dibentuk oleh Kapitalisme untuk Rasialisme. Budaya Manikebu berkembang pesat dalam kebudayaan Indonesia saat ini misalnya Komunitas Utan Kayu (KUK), seni untuk gaya-gaya saja. Jadi seharusnya kita harus mengembangkan seni untuk pemikiran kritis. Lantas apa yang harus kita lakukan ke depan ?” tegas Heui.

Kemudian Eka Adibrata juga mengungkapkan pandangannya “Lahirnya PKI pada tahun 1920-an tidak dengan mudah mendapat simpati massa, Semaun sebagai salah satu pelopor pada saat itu menjelaskan bahwa situasi objektif perkembangan kapitalisme yang membuat masyarakat harus berproduksi (karet) hanya untuk kepentingan kolonial saja sedangkan buruh dan petani sendiri kebutuhan hidupnya tidak dapat dipenuhi, maka dengan kesadaran ini partai pelopor yang saat itu PKI mendorong agar buruh, tani, kaum miskin kota untuk ikut serta dalam perjuangan politik. Tapi yang paling pokok pada awal kemerdekaan Indonesia menentang imperialisme dan kolonial mobilisasi massa sangat tinggi perdebatan terhadap kemana arah politik Indonesia sangatlah kental, namun setelah kejadian 1965 perubahan arus politik menjadi penghamba Imperialisme ditandai dengan naiknya rezim fasis militer diatas tampuk kekuasaan. Dalam perjalanannya rezim yang mengklaim dirinya orde baru ini berusaha untuk mengubah cara pandang masyarakat dengan menjadikan peristiwa 1965 menjadi sudatu pengkhianatan dan mereka membuat propaganda palsu terhadap tuduhan G30S dengan dalang PKI dengan membuat film bahkan buku. Inilah budaya bangsa Indonesia pasca 1965 gerakan radikal dihancurkan kritik terhadap pemerintah dilarang mobilisasi massa yang dulunya menjadi ciri atas demokrasi sudah di distorsi menjadi sekedar ikut pemilu yang partainya dibatasi oleh rezim orde baru sendiri.”

Selanjutnya Dipta Abimana salah satu peserta diskusi menerangkan bahwa “Seni adalah ekspresi manusia dalam bertahan hidup. Dengan demikian jika manusia terasing dari ekspresinya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, maka seni akan semakin jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Sejak motif utama manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya bertumpu pada keuntungan pribadi, semenjak tenaga produksi terpisah dari alat produksi, dan semenjak adanya klaim terhadap alat produksi, mayoritas masyarakat yang hanya memiliki tenaganya untuk di jual semakin terasing dari ekspresinya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Bagi masyarakat yang hidup d bawah jajahan kolonial, di peras tenaganya dengan sistem kerja paksa, tentu saja haus dengan ide ide pembebasan. Partai Komunis Indonesia yang bercita-citakan untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur tentu saja ibarat telaga di dataran gurun pasir. Hampir keseluruhan rakyat yang melibatkan dirinya kedalam garis perjuangan partai komunis terbesar ketiga di dunia pada waktu itu menawarkan alernatif sosialisme yang tak dapat di pungkiri merupakan cita-citanya rakyat tertindas.  Dimana ada buruh yang di hisap oleh pemilik modal, petani yang di gusur oleh pemilik tanah besar, perempuan yang di tindas maka di situlah tempat ide ide sosialis tumbuh dan berkembang. Pada lain hal, kelas penguasa tidak akan membiarkan begitu saja kelas tertindas untuk bebas dan merdeka. Penguasa takut akan kesejahteraan sosial, sebab dengan begitu ia harus merelakan keuntungannya berkurang dan bahkan kekayaannya akan hilang menjadi milik sosial. Oleh karena itu, kelas penguasa (pemodal) akan terus menerus untuk merebut setiap kemenangan-kemenangan rakyat tertindas. Sehingga malapetaka 65, tidak bisa di pungkiri merupakan konsekuensi logis dari pertentangan yang tak terdamaikannya kelas kelas sosial (antara kelas proletariat dengan kelas borjuis). Pengalaman 65, mengajarkan kepada kita, bahwa kelas borjuis (bahkan yang di katakana revolusioner sekalipun) tidak akan mempu mempertahankan demokrasi bagi kelas pekerja. Terbukti, Soekarno yang di agung-agungkan oleh kaum nasionalis tak dapat berbuat apa-apa, selain diam penuh kebimbangan di saat pembantaian massal terjadi.

Selanjutnya Ray dari Universitas Mulawarman turut menyampaikan perspektifnya mengenai perkembangan gerakan perempuan saat itu “Di film sebelumnya disampaikan adanya peran Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) sebagai salah satu propaganda utama yang digunakan. Pada saat itu Gerwani merupakan satu-satunya organisasi perempuan yang menyatakan bahwa politik adalah bagian dari perempuan, Gerwis (Gerakan Wanita Sedar) merupakan gabungan 6 organisasi yang melebur, yaitu Rukun Putri Indonesia (Rupindo), Persatuan Wanita Sedar, Istri Sedar dari Bandung, Gerakan Wanita Indonesia, Wanita Madura, Perjuangan Putri Republik Indonesia. Peralihan dari massa feodal dan kolonial masih tertinggal di masyarakat, bahkan ada penokohan dalam gerakan perempuan, yakni  Subandra dan Srikandi, penderitaan perempuan yang diakibatkan poligami sangat mudah ditemui dalam kehidupan sehari-hari, menjadikan  reformasi UU perkawinan salah satu dorongan Gerwani, salah satu kritik yang dilontarkan Gerwani juga sampai kepada soekarno dan anggota PKI dan Organisasi lainnya yang menyatakan dikiranya  urusan poligami adalah urusan pribadi gak ada hubungannya dengan politik (di muat di Api Kartini) karena memberikan sumbangan besar dalam mengalahkan undang-undang yang diperjuangkan secara terus-menerus, progam balai penitipan anak hampir hingga 1500 di setiap daerah, belajar buta huruf, terlibat perjuangan kemerdekaan Nasional, dan sebagainya. Kongres ke-empat pada tahun 1957 Gerwani menyatakan bukan lagi underbow partai, melainkan Organisasi massa gerakan perempuan, bahkan program Gerwani semakin luas bahkan dinyatakan keanggotaan nya melebihi satu juta. Hingga 1965 Gerwani juga dibantai, mereka  mengalami kekerasaan yang sangat pedih pada saat dipenjara, dan dipaksa untuk mengakui padahal tidak melakukan perbuatan mencungkil, kejahatan seksual, memotong kemaluan, dll. Dimana masyarakat masih sangat malu dan tabu mendiskusikan hal-hal berkaitan seksual sehingga propaganda media koran dan sebagainya seakan menyihir kebutaan mata manusia lainnya. Pada saat itu Sukarno juga mendorong untuk persatuan dan menyampaikan  hasil otopsi bahwa tidak ada kerusakan organ tubuh, penyiksaan yang disampaikan di setiap media. Tetapi, saat dipenjara Gerwani mengalami tekanan dan kekerasan seksual, dipaksa untuk telanjang dan melompat-lompat seakan menari seperti yang mereka katakan seperti hal nya kejadian di lubang buaya, nah itu yang jadi alat propaganda terhadap pembunuhan jendral. Pembantaian tersebut sangat berpengaruh terhadap perkembangan ideologi gerakan perempuan setelahnya, rezim Soeharto berupaya mengembalikan  peran perempuan untuk ngurusi urusan-urusan domestik dan berdampak pada organisasi-organisasi perempuan hingga saat ini”.

Kemudian Eron Kolin mengungkapkan pandangannya terkait pemuda/mahasiswa. “Sejak tahun 1912 peran para intelektual muda yang membawa gagasan baru dalam dunia gerakan mengalir deras dalam kesadaran politiknya. Surat kabar, rapat, pemogokan, serikat, partai dan ideologi sudah mulai ditampilkan dalam mendorong maju kesadaran politik. Gerakan para intelektual muda pada saat itu menyadari bahwa, kesadaran rakyat tidak hanya terbentuk melalui interaksi sosial saja. Namun melalui aktifitas politik yang terorganisir dengan cita-cita perjuangan untuk merdeka dari kolonialisasi yang dilakukan oleh kolonial belanda. Mobilisasi secara besar-besaran telah menciptakan radikalisasi dalam gerakan pada saat itu. Gagasan Marxisme atau sosialisme yang dibawa oleh Henk snevliet, Semaun, Tan malaka dan lainnya menjadi pijakan penting dalam gerakan revolusi Indonesia. Budaya pengorganisiran massa dalam mendorong kesadaran revolusioner terus mengalir sampai pada puncak revolusi kemerdekaan 1945. Tidak sampai disitu saja namun lebih jauh lagi kaum mudah mendorong massa gerakan untuk menasionalisasikan asset-asset bekas kolonial yang dikelola oleh rakyat. Jatuhnya rezim Soekarno tahun 1965 membuat budaya mobilisasi massa dihancurkan oleh rezim orba. Ideologi massa rakyat yang popular selama proses revolusi nasional juga dihancurkan oleh rezim saat itu, yang melawan akan dicap komunis”. Lebih lanjut kawan Eron memaparkan bagaimana rezim orba mengekang gerakan mahasiswa “Pada sektor pendidikan, untuk menghindari aktifitas politik mahasiswa maka rezim orba mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP 1978) yakni NKK/BKK. Melalui NKK/BKK maka pada organisasi perguruan tinggi yang dulunya dikenal dengan Dewan digantikan dengan BEM, UKM serta HMJ. Bersamaan dengan itu, terjadi pendikotomian terhadap metode pembelajaran ilmu pengetahuan yang terbagi dalam konsentrasi-konsentrasi yang seolah-olah tidak mempunyai kesalinghubungan. Tidak ada lagi ruang demokratis rakyat untuk dapat mengekspresikan ilmu pengetahuan secara terbuka. Upaya dopolitisasi, deorganisasi dan hak kebebasan menyatakan pendapat tidak dibenarkan karena dianggap sebagai upaya mengganggu stabilitas negara. Sampai pada tahun 1998 massa rakyat dan mahasiswa berhasil menumbangkan rezim orba melalui mobilisasi massa diberbagai daerah di Indonesia. Hal tersebut yang kita kenal dengan masa reformasi hingga saat ini. Walaupun demikian rezim orba telah lenyap namun budaya represifitas serta paham anti komunis masih terus hidup, terutama pada ruang-ruang pendidikan khususnya pengetahuan sejarah yang terus-menerus di pleseti dan tidak diajarkan secara jujur tehadap generasi muda. Hal tersebut diakibatkan oleh negara bersama aparaturnya memanfaatkan kelompok-kelompok reaksioner untuk terus melakukan represifitas terhadap setiap gerakan massa. Dengan melihat kondisi tersebut maka peran serta tanggung jawab intelektual menjadi penting dalam mendorong pengorganisiran kesadaran serta mentransfomasikan ilmu pengetahuannya secara tepat agar pengkualitasan terhadap terori semakin maju dan berkembang. Seperti kata Marx “Ilmu pengetahuan ada bukan untuk menggambarkan keadaan, tetapi untuk merubahnya”.

Ada juga pendapat dari perserta lain bernama Kuggi “Sebagaimana yang dikatakan kawan-kawan sebelumnya bahwa periode 1945-1965 banyak ideologi popular yang berkembang di masyarakat, mayoritas rakyat diarahkan untuk memobilisasi dirinya untuk merebut kekuasaan politik serta menuntaskan revolusi nasional. Namun hal tersebut dihancurkan oleh rezim orba melalui pembunuhan ribuan hingga jutaan manusia pada saat itu. Saat ini berbagai gerakan rakyat muncul untuk menuntut negara melakukan rekonsiliasi korban 65. Tapi menurutku rekonsiliasi saja tidak cukup karena ideologi masa orba masih tumbuh subur saat ini. Perempuan tidak didorong untuk berorganisasi (masih disibukan pada urusan domestik), mahasiswa tidak didorong untuk peka terhadap keadaan sosial. Sampai saat ini phobia komunis juga masih banyak beredar, lihatlah beberapa spanduk disimpang jalan. Masyarakat ditanamkan ide bahwa komunis itu jahat, tapi tidak didorong untuk mengetahui hal tersebut. Selalu saja ada upaya untuk menghalau diskursus soal 65, misalnya beberapa kawan-kawan di Jawa yang didatangi oleh milisi reaksioner. Demo membela kaum miskin dituduh komunis, perempuan melawan ketidakadilan dituduh Gerwani. Jadi kita saat ini tidak bisa menutup mata, penting halnya untuk mendorong rakyat untuk terlibat aktif dalam kebebasan berideologi. Karena tujuan kita bukan menebar kebencian, tetapi mengungkapkan kebenaran yang pernah terjadi.”

Selanjutnya kawan Dipta memberikan lagi pendapatnya “Budaya tidak bisa dipisahkan dari basis kehidupan masyarkat yakni sistem ekonomi, karena berpuluh-puluh tahun lamanya masyarakat hidup di bawah sistem ekonomi yang mengutamakan keuntungan pribadi, maka budaya yang berkembang tentu saja adalah budaya yang menjaga kode moral kapitalisme. Budaya yang berkembang adalah budaya kompetisi, nerimo (mengakui keadaan sebagai takdir), patuh, dsb, dsb. Nah, budaya ini  dijaga bukan hanya melalui pendidikan formal, tetapi seluruh aparatur negara borjuis termasuk keluarga ikut serta membangun budaya tersebut. Karena budaya yang dibangun ini berdampak pada perilaku, dan menanamkan psikologi.

Dipta juga memberikan tanggapannya atas pernyataan kawan Roy, “Saya mempercayai bahwa intelektual bukan mahasiswa saja, tetapi seluruh masyarakat. Di Indonesia pasca perang dunia ke II dalam industri yang masih terbelakang, dominasi intelektualnya adalah dari kaum muda. Ini berhubungan dengan waktu yang di milikinya cukup banyak memanfaatkan intelektualitasnya. Tak heran nama-nama seperti Bung Tomo, Tan Malaka, Soekarno, Syahrir, Hatta, dsb kebanyakan adalah dari kelas menengah atau borjuis kecil.”

Dipta juga menjelaskan, bagaimana paham nasionalisme juga di gunakan untuk membangun budaya anti komunis. Slogan NKRI Harga mati menjadi doa dalam pembantaian massal.”Sekali lagi saya tekankan bahwa nasionalisme dalam bentuk apapun tidak akan mampu menghapuskan penindasan manusia atas manusia dan bangsa atas bangsa. Ini karena penghapusan terhadap penindasan manusia atas manusia menuntut sebuah ideologi atau basis perjuangan yang tidak terbatas pada skat-skat kebangsaan. Dan itu hanya di mungkinkan dengan perjuangan kelas buruh. Sebab kaum kapitalis tidak memandang kau dari suku apa, agama apa, negara apa, dan jenis kelamin apa. jika kau tidak memiliki modal maka kau akan bernasip sama. Di hisap dan terasing dari keseharianmu”.

Diskusi pun berakhir dengan pendapat dari kawan Heui “Tadi ada kawan yang sempat menyinggung soal rekonsiliasi, yang terbaru misalnya upaya yang dibangun melalui IPT 65. Tapi kawan tadi juga sempat menyinggung, apakah kemudian negara punya kepentingan dalam menyelesaikan persoalan HAM masa lalu ? Melihat bahwa rezim saat ini dan militer punya ikatan seribu benang, yang notabane juga di isi oleh pelanggar HAM masa lalu. Maka saya begitu pesimis karena bagaimana mungkin pelaku mau ngebuka aibnya sendiri ?. Kriminalisasi dan refresifitas pada gerakan rakyat juga masih sering terjadi sampai saat ini. Reformasi 98 telah memberikan pembelajaran bagi kita bahwa mewujudkan demokrasi tidak bisa dengan meminta, tetapi merebutnya dengan kesadaran massa rakyat. Sebab demokrasi seluas-luasnya sangat diperlukan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yakni masyarakat sosialis.” Tutupnya.

Bedah buku pun berakhir dan ditutup dengan salam perjuangan.

Hidup Rakyat!!!

 

Di Narasikan Oleh Kaliandra (Mahasiswa  Fakultas Ilmu Budaya Unmul)

Leave a comment